Perpustakaan Sebagai
Denyut Nadi Pendidikan
Oleh: Agus Mulyadi, S.Pd.I
Perpustakaan dalam
dunia pendidikan sejatinya memiliki fungsi dan peran yang sangat penting.
Keberadaannya tidak bisa dinafikan begitu saja dalam menyokong perkembangan
kemajuan pendidikan. Namun dewasa ini peran dan fungsi tersebut sepertinya sedang
mengalami kemunduran atau dalam bahasa yang lebih santun sedang mengalami
stagnasi. Khususnya perpustakaan sekolah pada setiap jenjangnya.
Hanya sedikit karya
yang dihasilkan oleh para guru terpajang di rak buku perpustakaan, atau bahkan
tidak ada sama sekali. “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”
itulah yang terjadi. Bagaimana murid akan tertarik untuk menghasilkan sebuah
karya, jika para pendidiknya saja tidak termotivasi berbuat demikian?. Ironi
semacam ini jamak sekali terjadi di beberapa perpustakaan sekolah.
Kurang berfungsinya
perpustakaan tersebut dapat terlihat dari kuantitas pengunjung dan perbendaharaan
buku bacaan yang ada di dalamnya. Dari sisi pengunjung, di beberapa
perpustakaan sekolah terjadi fluktuasi yang begitu tajam. Jika dipersentase
jumlah pengunjung yang datang untuk sekedar melihat-lihat atau membaca koleksi
buku bacaan yang ada di dalamnya tidak lebih dari 20 hingga 25 persen saja.
Artinya tidak banyak dari guru dan siswa yang tertarik untuk datang ke
perpustakaan untuk membaca buku-buku yang ada di dalamnya.
Hal ini bisa terjadi
minimal disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah minat baca siswa yang
rendah dan petugas perpustakaan yang cenderung pasif, tidak kreatif dan kurang
inisiatif dalam mempromosikan perpustakaan di kalangan siswa.
Ahmad Shallaby (1976)
dalam (Antonio, 2012: 38) mengatakan: “semenjak manusia mulai berkomunikasi
melalui tulisan yang ditulis pada ketulan tanah, batu, daun, tulang, kayu,
kertas dan akhir-akhir ini media elektronik, perpustakaan dijadikan wahana di
mana isi kandungannya dimanfaatkan. Tanpa perpustakaan, kesinambungan tamadun
manusia akan kehilangan landasan.” Apa yang dikatakan Ahmad Shallaby ini
seharusnya menjadi cambuk bagi kita semua yang menutup mata akan urgensitas
perpustakaan dalam menjaga kesinambungan tamadun peradaban manusia.
Pada masa keemasan
Islam, pendidikan pernah berada pada puncak kejayaannya. Yakni pada masa daulah
bani Umayah (662 – 750 Masehi) dan Abbasiah (751 – 1258 Masehi). Pada masa ini
pendidikan dan ilmu pengetahuan, berkembang sangat pesat. Masjid, madrasah dan
kuttab (perpustakaan) berperan penting dan berfungsi sentral sebagai pusat
pendidikan masyarakat. Salah satunya yang terkenal adalah “baitul hikmah.” Yang
sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat yang haus akan ilmu pengetahuan. Bagaimana
dengan masyarakat kita? Bagaimana dengan sekolah-sekolah kita? Dan bagaimana
dengan murid-murid kita?
Pada kasus ini, penulis
ingin mengajak pembaca untuk sejenak memperhatikan perpustakaan-perpustakaan
yang ada di sekolah-sekolah tempat anak-anak kita belajar. Kuttab
(perpustakaan) sekolah dewasa ini gagal menarik simpati para siswa untuk
berbondong-bondong mengimplementasikan konsep “iqra’” yang terkandung di
dalam QS. Al ‘Alaq: 1-19. Motivasi siswa untuk menjadikan perpustakaan sebagai
sumber belajar masih sangat rendah. Kalaupun ada beberapa siswa yang
berkunjung, bukanlah buku-buku sains atau wacana keilmuan (non-fiksi) yang
menjadi sasarannya, namun buku-buku fiksi seperti novel atau cerpen dan komik.
Walaupun memang tidak ada larangan untuk membaca buku-buku semacam itu.
Singkat kata, kuttab (perpustakaan)
yang dahulu bisa menjadi pecut bagi cendekiawan, ilmuwan dan
murid-muridnya untuk ber-fastabiqul khairaat dalam kebaikan, membuat
karya-karya fenomenal di dunia pendidikan. sekarang terlihat tidak sama dan
jauh dari kata tamadun dalam arti yang lebih substansial. Yakni berkemajuan
dalam karya dan menggali pengetahuan.
Apabila yang terjadi di
lapangan adalah kurangnya inisiatif, kreatifitas dan inovasi dari petugas
kuttab untuk mengajak guru dan siswa dalam menggiatkan, dan mengembalikan
fungsi dan perannya, maka perlu ada perbaikan dan terobosan-terobosan untuk
menarik minat dan motivasi siswa terhadap kuttab. Perlombaan, sayembara dan
semacamnya dapat menjadi pilihan dalam hal ini. Selain bisa memotivasi siswa,
karya-karya yang dihasilkan dapat menjadi koleksi daripada kuttab itu sendiri.
Tentu hal itu tidak
bisa dilepaskan dari peran serta sekolah, dalam hal ini kepala sekolah, dan
para guru. Pihak-pihak ini juga tidak boleh tinggal diam saja. Mereka harus
turut serta mendorong, memotivasi siswa-siswanya, dan bahkan jika perlu
sesekali mereka bisa mengajak siswa-siswanya untuk belajar di perpustakaan. Hal
semacam ini harus senantiasa digerakkan dan digeliatkan di setiap sekolah, agar
tamadun peradaban manusia dapat terjaga keberlangsungannya dengan baik.
Penulis adalah pengajar di SMP Islam Al Azhar 21
Solo Baru, Sukoharjo, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar